PENGADILAN PUISI
Catatan dari Bandung dan Jakarta
:
Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir Dan Jawaban Terhadap Itu (Taufik Ismail)
Pada pertengahan
bulan Agustus 1974, melalui Sutardji Calzoum Bachri, saya menerima surat dari
ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H., berisi undangan untuk baca sejak di
Bandung dan mengikuti acara kegiatan sastra.Taufiq meminta waktunya di undurkan
keminggu pertama atau kedua bulan September. Tepat 8 September 1974 acara
tersebut di lakukan. Acara tersebut adalah “Pengadilan Puisi”, acara tersebut
terbuka untuk umum.
Slamet Kirnanto
yg djadikan sebagai jaksa. Hakimnya terdiri dari 2 orang. Ketua hakim Sanento
Yuliman, dan di dampingi hakim Darmanto Jt. Hadirin yang ada di ruang sidang
sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan.
Slamet Kirnanto
membacakan tuntutannya, yang diluar dugaan saya, sudah siap tertulis beberapa
folio tik, tapi tidak dibagikan pada pembela. Judulnya dengan semangat Zona 76
tahun yang lalu, paling kurang pada dua kata pertama: “Saya Mendakwa Kehidupan
Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”.
Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap
kritikus M.S. Hutagalung terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo dan H.B.
Jassin terhadap penjagoan W.S. Rendra.
Tuntutan
berbunyilah sebagai berikut :
1.
Para kritikus yang
tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mukhtair, khususnya H.B.J dan
M.S.H harus”di pensiunkan.”
2.
Para editor majalah
sastra khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicuti besarkan.
3.
Para penyair mapan
seperti Subagio. Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan
para epigonnya harus dikenakan hukuman pembuangan.
4.
Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang
sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang dibaca peminat
sastra dan masyarakat umum, sebab akan mengkisruhkan perkembangan sastra yang
kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua didasarkan atas “Kitab Undang-Undang
Hukum Puisi”
Tujuan di adakannya “pengadilan
puisi”agar puisi menjadi lebih sehat.
Hakim Darmanto
menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskan pula bahawa Puisi Mukhtair Indonesia
memang ada, cuma belum berkembang. Bunyi keputusan:
1)
Para kritikus sastra
tetap diizikan menulis dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan
mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra.
2)
Para redaktur Horison
tetap diizikan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa
malu.
3)
Para penyair mapan
estabilished masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu pula para
epigonnya, dengan keharusan segera masuk dalam Panti Asuhan atau Rumah
Perawatan Epigon.
4)
Majalah Sastra Horison
tidak perlu dicabut SIT-nya, akan tetapi nama belakang Horison harus di
embel-embeli kata “baru”. Sehingga menjadi “Horison Baru”.
TIGA BELAS hari
kemudian di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan suatu
majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. acara tersebut di
selenggarakan pada 21 September 1974 oleh senat mahasiswa FSUI.
Tuntutan Umum pada PPIM
dibandung, 8 September 1974 :
Saya Mendakwa Kehidupan Puisi
Indonesia Akhir-akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas, dan Brengsek! (Slamet
Kirnanto)
KEPADA majelis
peradilan sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang
menggambarkan semakin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia.
Khususnya kehidupan puisi Indonesia.
Hary Aveling
dalam ceramahnya dimalaysia pernah menyatakan begini :”percobaan Darnanto dan
Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra
Indonesia. Paling minimal, keduanya menentang cara dan pokok menulis yang sudah
biasa bagi penulis Indonesia”.
Sungguh sangat
aneh dalam negri sendiri orang tidak menyadari tentang muculnya gejala dan
kecenderungan-kecenderungan baru itu. M.S. Hutagalung, seorang dosen
kesusastraan FSUI bersama rekan-rekannya mengenalkan suatu teori kritik sastra
yang dikenal dengan metode struktural yang dikukuhkan pada seminar
bahasa dan kesusastraan tahun 1966. untuk menimbulkan kesan bahwa ia tetap
setia pada bidangnya dengan lagak seorang juri ia menilai dan sekaligus
mengumumkan bahwa dewasa ini penyair yang terkemuka diindonesia adalah Subagio
Sastrowardoyo. Penilaian tertinggi akhirnya jatuh kepada Subagio Sastrowardoyo
didasrkan pertimbangan : Subagio mempunyai tema lebih kaya dengan persoalan
kehidupan masa kini. Contohnya “Manusia Pertama di Luar Angkasa” yang
melukiskan bagaimana manusia lupa akan bagian-bagian kehidupan seperti
kemesraan, emosi, kerinduan, dll. Menurut Hatagalung puncak keberhasilan
Subagio adalah pada sajak “Dan Kematian Semakin Akrab” dimana kekurangannya
dalam kekuatan emosional cukup terpenuhi.
Dalam keputusan
itu H.B.Jassin naik pitam menolak keputusan bekas anak didiknya itu. Menurutnya
W.S.Rendra adalah penyair terbesar saat ini, karena Rendra berhasil
menggambarkan gagasan yang dalam lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba dan
pikiran-pikiran yang tinggi dengan kata-kata sederhana dan kehidupan
sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret. Menurut H.B.Jassin para pengarang
lainnya hanya punya kata-kata dan pelukisan yang abstrak.
Sementara
orang-orang menggap bahwa saya memuji-muji keberhasilan Sutardji setengah mati.
Tentunya ini sama saja dengan apa yang dilakukan orang-orang membuat jalur.
Pendapat dan kesan yang demikian boleh saja timbul. Namun juga dipihak lain
dapat dikatakan tidak semuanya benar. Perhatian besar yang saya curahkan pada
karya-karya Sutardji sesungguhnya hanya memperingatkan perlunya bertindak adil
terhadap pencapaian orang lain. Kita harus selalu terbuka terhadap kemungkinan
orang lain.
Beberapa catatan bertalian dengan
:
Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir (H.B.Jassin)
Karena saya
tidak di undang dalam Pengadilan Puisi Kontemporer itu, maka saya hanya dapat
mendasarkan pendapat dan pertanggung jawaban serta “pembebasan” saya pada
laporan surat kabar Kompas dan Pikiran Rakyat tanggal 11
September 1974 yang dia beli di pinggir jalan ditambah dengan programa yang di
sampaikan oleh pengunjung pada acara itu, serta ketegangan-ketegangan yang saya
peroleh dari beberapa orang peserta.
Bunyi rumusan
dakwaan sebagaimana yang dapat di tanggap dari laporan wartawan Kompas, ialah :
....situasi
perkembangan sastra, khususnya puisi di Indonesia tidak menentu. Ssudah tidak
sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan
intelektualitas Sutan Takdir Alisjahbanamasih terus berjalan, sehingga sastra
Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan
hanya epigonisme dari Barat saja.
Selanjutnya
dikatakan bahwa niang keladi dari keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan
Mohamad, yang meneruskan epigonisme dari Barat. Disempurnakan oleh Sapadi Djoko
Damono dan Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan
Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme dianggap
berbahaya. Maka dari itu surat izin terbitnya harus di hapus.
Catatlah hari
ini tanggal 21 September 1974, suatu pertanyaan untuk masa depan :” Sepuluh
tahun lagi, siapakah yang masih bersuara di antara orang yang berkoak-koak
sekarang ini dan apakah prestasi yang telah mereka berikan kepada kesusatraan
Indonesia ?”
Jawaban Saya Terhadap Slamet
Kirnanto :
Puisi Kita Dewasa Ini
(M.S.Hatagalung)
PADA dasarnya
“pengadilan puisi” yang diadakan di Bandung tidak banyak memberi kesan kepada
saya. Pertama-tama saya sudah biasa mendengar
berbagai macam pertanyaaan, statment yang terlalu umum dan hampir
tidak ada artinya.
Pada mulanya
saya juga menganggap bahwa “pengadilan puisi” itu sebagai lelucon saja, yamg
tidak perlu untuk di tanggapi secara serius. Yang saya ingin sampaikan dalam
pendahuluan ini ialah agar jangan timbul kesan bahwa saya dengan penuh emosi
dan kemarahan akan tampil di forum ini untuk mempertahankan diri dan menyerang
penuntut umum.
M.S.Hatagalung
sendiri tidak suka memilih penyair terkemuka. Saat di wawancarai oleh Fauzi
Abdullah mengenai pengarang Rendra yang disebut sebagai penyair Indonesia
terkemuka, M.S.Hatagalung tidak setuju. Karena dia menganggap Rendra pada waktu
itu, seorang penyair penting, tapi memiliki banyak kelemahan.
Selain
menghakimi, slamet Kirnanto juga mengada-ada. Orang yang mendengar ceramah saya
tahun 1973 itu tentu sangat geli dengan dongeng Kirnanto bahwa saya mengatakan
Subagio merupakan penyair terkemuka, konon H.B Jassin naik pitam. Saya tidak
merasa Jassin naik pitam, saya juga tidak merasa apa-apa ketika Jassin dan
kebanyakan rang menganggap bahwa Rendra penyair utama.
Menurut saya, pandangan-pandangan Slamet
Kirnanto adalah pandangan yang tidak sehat, sebuah pertanyaan atau statement
tidak ada harganya tanpa disertai bukti dan argumentasi, perkembangan puisi
kita saat ini brengsek dan ini adalah akibat para kritikus sebenarnya tidaklah
benar, untuk menilai seseorang lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaiman
adanya tanpa mengharapkan diteliti sebagai ini dan itu.
Komentar Berhubung dengan :
Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir (Goenawan Mohamad)
* Tentang Forum Itu
Harus diakui
dengan diadakan pengadilan puisi ini di anggap tidak membosankan dibandingkan
dengan cara yang lama yang di anggap membosankan dan kurang daya tarik.
* Tentang “Tuntutan”Slamet
Kirnanto
Sepanjang yang
saya baca dikoran, soal yang diadakan di pengadilan puisi di Bandung hanyalah
ulangan dari gerutu lama. Menghantam H.B.Jassin, mengancam Horison,
menabok epigonisme terhadap Barat atau lainnya, semua itu sudah merupakan
klise.
* Tentang “Hakim” dan Isi
Pembicara
Menurut saya
hakim adalah burung hantu, bukan burung merak. Kesan saya terhadap “pengadilan” itu bahwa bagaimana sibuknya para penyair itu
terus-menerus dengan diri mereka sendiri. Seolah-olah keadaan mereka lah yang
paling gawat sekarang, bahwa merekalah yang diperlakukan paling tidak adil di
Indonesia kini.
* Tentang Penyair yang Sudah
“Estabilished”
Saya tak tahu
persis arti kata inggris ini. Tapi jika saya boleh artikan, menurut penafsiran
saya setiap seniman punya nasib - malah kehendak - untuk jadi “estabilished”.
Dalam setiap
penciptaan seorang penyair senimannya ingin melahirkan sesuatu yang sama sekali
belum pernah di lahirkannya. Tapi pada suatu momen ia nanti bisa tersadar bahwa
ada sejarah, ada takdir, ada ingatan-ingatan yang melekat. Maka para penyair
sebaliknya bisa menjemukan.
*Tentang Kehidupan Puisi
Sekali lagi,
tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan puisi yang berharga
- hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksakan diri
kasih ujung tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas.
Catatan Atas Pengadilan Puisi Dan
Tuntutan Slamet Kirnanto (Sapardi Djoko Damono)
Taufiq ismail
berkata kepada saya, seandainya saja sayai dapat hadir ia akan diminta untuk
duduk mendampinginya sebagai “pembela”puisi kita. Puisi kita saat ini beraneka
ragam dan sehat. Barangkali puisi akan mampu membela dirinya sendirin, sebab
puisi adalah bentuk sastra yang palling sulit dilarang, ditekan atau dihambat
perkembangannya.
Berita dikoran
tentang peristiwa di Bndung itu, seolah-olah sekelompok penyair memberontak
terhadap nilai-nilai yang ditegakkan oleh penyair yang sudah estabilithed,
yang biasanya lebih tua. Namun peristiwa itu jelas bukan merupakan
pemberontakan kaum muda terhadap yang tua karena ternyata “Penuntut” adalah
Slamet Kirnanto yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Abdul Hdi W.M.,
penyair yang dijadikan bahan ejekan, dan tuduhan, yang jaug lebih berbakat dan
telah menerbitkan puisi yang jauh lebih baik kualitasnya dari Slamet Kirnanto sendiri.
Kesimpulan saya:
tuntutan Slamet Kirnanto itu di tulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi
hal-hal baru, dan tidak kocak. Tapi kita tetap harus mengahargai Slamet
Kirnanto karena “keberaniannya” tampil di Bandung tempo hari, namun Slamet
adalah tokoh yang terlalu “serius”untuk pertemuan seperti itu. Suasana mungkin
akan lebih kocak apabila Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.
Dan kita juga harus menghargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah
menghasilkan sebuah pertemuan yang unik, yang menjadi alasan pertemuan di FSUI
kali ini.
Tentang Pengadilan Puisi
(Darmanto Jt)
Kita tidak butuh
lagi mitos untuk mempertahankan eksistensi puisi, kata sementara orang. Tapi
orang lain bilang: baik kita bikin mitos-mitos baru tentang W.S. Rendra, dan
seterusnya. Atau, agak sesuai dengan makin popnya sajak-sajak Abdul Hadi --
bikin Abdul Hdi Fans Club, dan seterusnya. Pada keduanya kita dapat saksikan
betapa malang kritik sastra kita.
Jadi apa
salahnya kita pengadilan puisi. Pertama-tama tentu saja untuk mensahkan hak
hidup puisi Indonesia. Dengan itu, tentunya diperlukan juga adanya Dewan
Pertimbangan Kenaikan Pangkat Penyair. Dewan ini mempertimbangkan perlu ada
kesepakatan dikalangan penyair, serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
para penyair.
Komentar
Posting Komentar