SEJARAH SINGKAT PENDIRI SAMARINDA SEBERANG
Sekelompok mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya UNMUL jurusan Sastra Indonesia angkatan 2016 sedang melakukan perjalanan ke Makam leluhur di Samarinda yaitu Makam Lamohang Daeng Mangkona yang terletak di Samarinda Seberang.
Saya adalah salah satu bagian dari mereka. Kami terdiri dari dua kelas yaitu Sastra Indonesia A dan Sastra Indonesia B. Kami melakukan perjalanan ini dimulai sekitar pukul 10 pagi. Sebelum melakukan perjalanan kami semua berkumpul di Kampus Fakultas Ilmu Budaya. Setelah semuanya berkumpul kami melakukan do’a bersama agar senantiasa apa yang kita lakukan dapat berjalan dengan baik dan selalu dilindungi oleh tuhan, setelah selesai berdo’a barulah kami melakukan perjalanan yang di dampingi oleh dosen kami yaitu Bapak Dahri Dahlan M.Hum.
Setelah sampai ditujuan kami bertemu dengan Bapak Abdillah selaku orang yang dipercayakan untuk menjaga Makam Lamohang Daeng Mangkona tersebut. Bapak Abdillah menceritakan tentang Lamohang Daeng Mangkona sesuai dengan yang ia ketahui.
Disekitar Makam Lamohang Daeng Mangkona, kami melihat banyak makam-makam yang lain, yang diketahui makam-makam tersebut adalah makam-makam kelompok Lamohang Daeng Mangkona yang juga ikut dikuburkan di sekitar makam Lamohang Daeng Mangkona. Makam-makam yang ada disana sebagian nissan terbuat dari batu, ada pula nissan batu yang berbentuk ikan pesut.
Nissan batu yang berbentuk ikan pesut
Disana terdapat pula kapal sebagai miniatur hiasan di Makam Daeng Mangkona, miniatur kapal ini adalah simbol bahwa pada dulu kala Lamohang Daeng Mangkona merantau kesamarinda melalui jalur laut yaitu menggunakan kapal laut, bukan melalui jalur udara maupun jalur darat, itulah fungsi dari miniatur kapal tersebut. Di sekitar Makam Lamohang Daeng Mangkona sendiri oleh penjaga makam ditanami pohon-pohon seperti pohon buah mangga agar terasa sejuk dan tidak panas apabila ada orang yang berkunjung ke makam. Makam Lamohang Daeng Mangkona pun diberi seperti rumah pendopo, agar memudahkan bagi orang yang berkunjung agar tidak kepanasan ketika ingin berziarah ke Makam Lamohang Daeng Mangkona. Halaman sekitar makam pun luar dan sudah dipagari tembok.
Miniatur kapal yang berada di Makam Lamohang Daeng Mangkona
Setelah selesai berziarah kami berkeliling-keliling disekitaran makam, untuk melihat makam-makam yang lain, kami juga berfoto bersama penjaga makam yaitu bapak Abdillah dan dosen pembimbing kami bapak Dahri Dahlan. Setelah dirasa puas berkeliling dan berfoto-foto kami akhirnya pamit untuk pulang.
Makam-makam disekitar makam Lamohang Daeng Mangkona
Pengertian dan Jenis-jenis Legenda
Menurut Eko Sugiarto didalam buku Mengenal Sastra Lama, legenda adalah dongen yang berhubungan dengan peristiwa sejarah atau kejadian alam, misal terjadinya nama suatu tempat dan bentuk topografi suatu daerah, yaitu bentuk permukaan suatu daerah (berbukit, jurang, dan sebagainya). Namun, peristiwa atau kejadian tersebut bercampur dengan unsur-unsur fantasi.
Sebuah legenda dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi oleh masyarakat pemilik legenda tersebut, tetapi tidak dianggap suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia biasa, tetapi kadang kala punya sifat-sifat yang luar biasa dan sering kali dibantu makhluk-makhluk ajaib.
Karena mengandung unsur sejarah, ada sebagian ahli yang menyebut legenda sebagai cerita-cerita semihistoris (setengah sejarah). sebagai sebuah cerita, legenda tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Akan tetapi, karena dikaitkan dengan sejarah, terkadang ada juga hal-hal yang benar-benar terjadi dan bisa dipercaya.
Didalam buku Folklor Indonesia yang di tulis oleh James Danandjaja, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadi pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering sekali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan cerita aslinya.
Didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang di susun oleh W.J.S. Poerwadarminta juga dijelaskan bahwa legenda adalah cerita dari zaman dahulu (yang dikenal dan dihemari orang ) yang bertalian dengan peristiwa bersejarah.
Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas didaerah-daerah berbeda. Mengenai penggolangan legenda sampai kini belum ada kesatuan pendapat diantara para ahli. Jan Harold Brunvand misalnya menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Legenda Keagamaan
Yang termasuk dalam golongan ini antar lain adalah legenda orang-orang suci (saints) nasrani. Jika telah disahkan oleh Gereja Katolik Roma akan menjadi bagian kesusastraan agama yang disbut higiography ( legends of the saints) yang berarti tulisan, karangan, atau buku mengenai penghidupan orang-orang saleh.
2. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami. Fungsi legenda semacam ini terang adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat.
3. Legenda Perseorangan
Legenda ini adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu, yang dianggap oleh empunya cerita benar-benar pernah terjadi.
4. Legenda Setempat
Legenda yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit, berjurang, san sebagainya.
Sejarah dan profil singkat pendiri Samarinda Seberang (Lamohang Daeng Mangkona)
Menurut cerita dari Bapak Abdillah selaku penjaga makam Lamohang Daeng Mangkona bahwasanya Lamohang Daeng Mangkona atau Poa Ado adalah pendiri kota Samarinda Seberang yang berasal dari bangsawal asal Wajo yang merantau ke Kalimantan Timur, yang kemudian bertemu dengan Raja Kutai lalu diberi wilayah Samarinda Seberang. Awal mula kelompok Lamohang Daeng Mangkona belum dipastikan tetapi diperkirakan sekitar 200 orang.
Makam Poa Ado atau Lamohan Daeng Mangkona sekarang diperkirakan sudah berumur 300 tahunan. Kapan Lamohang Daeng Mangkona meninggal ? belum diketahui sampai sekarang, tetapi diperingati pada tanggal 21 Januari bertepatan dengan hari jadi kota Samarinda. Makam Lamohang Daeng Mangkona nissannya sampai sekarang masih asli belum ada yang diganti.
Johansyah Balham didalam buku Mutiara Bumi Etam menuliskan, menurut riwayat Kota samarinda dibangun Belanda pada tahun 1730, kurang lebih 62 tahun setelah Samarinda Seberang dibangun oleh Poa Ado atau Lamohang Daeng Mangkona atas kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara tahun 1668.
Lamohang Daeng Mangkona adalah perantau bugis dari Sulawesi, ia dipercayai untuk bermukim dan membuka perkampungan didaerah Samarinda serta beberapa kampung, seperti Muara Badak, Muara Pantuan, Tanjung Harapan, serta disepanjang pesisir, baik arah ke selatan wilayah Kota Baru Pulau Laut maupun ke Utara daerang Bengalon, Sangkulirang hingga keperbatasan Kerajaan Berayu Kalimantan Timur.
Perkampungan Samarinda dibuka dengan cepat oleh orang bugis asal bangsawan Wajo yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona. Menurut cerita penyebaran orang-orang Bugis ke seluruh wilayah nusantara, termasuk di Kalimantan Timur, khususnya di tanah Kutai dari bangsawan asal Wajo dan Bone pada tahun 1665.
Untuk kepentingan pertahanan, Lamohang Daeng Mangkona serta pengikutnya diberi tempat didaerah ilir yang tak begitu jauh dari muara, yaitu di kampung Melantai. Keberadaan mereka ditempat itu, selain untuk membuka perkampungan, juga utuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan. Untuk itu Lamohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai petinggi didaerah tersebut dengan gelar Poa Ado.
Pemberian tempat itu memang tidak sia-sia. Yang diharapkan oleh Raja Kutai memang berhasil. Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang dan makmur. Pendatang dari daerah Sulawesi semakin banyak dan menetap menjadi penduduk. Pendatang tidak hanya dari Sulawesi, tetapi juga orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan berdatangan ke daerah yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona.
Hutan-hutan dibabat dan dijadikan perkebunan dan persawahan dan lain sebagainnya, sehingga menjamin kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang bugis ini amat kuat bergotong royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama islam yang fanatik. Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan Kutai masih banyak yang beragama Hindu kaharingan. Sebagian memang sudah pula memeluk agama islam.
Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi, masyarakat dibawah pimpinan Lamohang Daeng Mangkona atau Poa Ado ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari yang lainnya. Karena itu mereka disebut orang-orang berbudi dan rendah hati. Nama ini sangat mempengaruhi keadaan daerah tersebut. Semula banyak orang menyebut daerah itu dengan nama Sama Rendah yang lama kelamaan berganti sebutan menjadi Samarenda. Asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai Samarinda Seberang.
Seiring dengan perkembangan kampung Samarinda, saat itu datang pula perantau dari Banjar, Kalimantan Selatan. Mereka berdiam ditepi kanan sungan atau di seberang Samarinda Daeng Mangkona. Orang-orang banjar ini membuka kampung-kampung kecil, disini mereka bekerja sebagai petani dan nelayan.
Makam Lamohang Daeng Mangkona
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Lamohang Daeng Mangkona atau Poa Ado adalah pendiri Samarinda Seberang. Ia adalah bangsawan asal Sulawesi daerah Wajo yang merantau ke Kalimntan Timur, lalu kemudian bertemu dengan Raja Kutai dan diberi wilayah Samarinda Seberang.
Makam Lamohan Daeng Mangkona diperkirakan sudah berumur 300 tahuan, tetapi sampai sekarang belum ada yang berubah dari makamnya sendiri nissannya pun masih asli dari sejak pertama kali ditemukan. Hanya saja makamnya sekarang diberi rumahan seperti pendopo.
Anandita F.P didalam buku Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya menjelaskan bahwa, tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia sudah terbentuk sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan. Jika pengertian sejarah didasarkan kemampuan suatu masyarakat mengenal tulisan serta menggunakan tulisan untuk merekam pengalaman hidupnya, tradisi tersebut sudah terbentuk dan sudah dapat kita ketahui melalui prasasti (batu bertulis) yang tersebar dibeberapa daerah Indonesia. Masyarakat kalimantan Timur, misalnya sudah memiliki tradisi sejarah sejak mereka mampu menuliskan peristiwa, kejadian, dan pengalaman hidupnya pada tujuh buah yupa (prasasti) pada abad ke-5 M. Sampai sekarang prasasti tersebut bukan hanya sebagai tanda adanya Kerajaan Kutai, melainkan juga bukti bahwa masyarakat tersebut sudah memasuki zaman sejarah. Mungkin hal ini ada kaitannya dengan penemuan pertama kali makam Lamohang Daeng Mangkona, karena di nissannya sendiri terdapat tulisan, mungkin itu adalah sebagai penanda bahwa itu adalah makam pendiri Samarinda Seberang yaitu Lamohang Daeng Mangkona.
Harapannya untuk Makam Lamohang Daeng Mangkona, agar selalu dijaga dan selalu dirawat kebersihan lingkungannya agar lebih banyak pula yang berminat untuk datang berziarah, dan semoga semakin banyak orang yang tahu keberadan Makam Lamohang Daeng Mangkona tersebut. Dan semakin banyak yang berkunjung untuk berziarah ke makam leluhur kita ini, yaitu makam pendiri Samarinda Seberang.




Komentar
Posting Komentar